Saat itu, Radar Bogor belum sebesar seperti sekarang. Berkantor di sebuah bangunan sederhana di Jalan Merak No 1, Pak Kanzul menjadi Wakil Pimpinan Redaksi. Dialah yang membimbing reporter-reporter baru, termasuk saya. Dibawah bimbingan Pak Kanzul, saya dan teman-teman saat itu bukan seperti berada di sebuah koran milik Jawa Pos, tapi malah seperti berada dikantin kuliah yang santai namun intelek.
Saat-saat santai sambil ngobrol ngalor-ngidul itulah Pak Kanzul menularkan ilmunya kepada kami. Melalui cerita-cerita pengalamannya saat menjadi wartawan politik di Jawa Pos biro Jakarta, terbesit kesan bahwa seorang Kanzul Fikri bukan seorang yang sombong. Bahkan sebaliknya, Ia sosok yang sangat sederhana. Tak pernah merasa bangga walau Ia pernah mewawancarai tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur, Hamzah Haz hingga politisi-politisi papan atas di DPR.
Bagi saya dan teman-teman, cerita-cerita Pak Kanzul itu sangat mengasyikkan. Berbagi pengalaman, sambil menyampaikan petuah-petuah penting disampaikannya dengan rasa humor yang tinggi. Hal itu sangat membekas di hati saya hingga detik ini.
Kesan saya lainnya pada sosok Pak Kanzul adalah pribadi yang sederhana. Sebenarnya, jika beliau ambisius ingin meraih lebih tinggi seperti yang beliau dapatkan saat ini, managemen Jawa Pos memberikan hal itu kepada wartawan-wartawan senior seperti Pak Kanzul. Tapi, sedikit pun Pak Kanzul tidak bergeming. Ia lebih memilih mendirikan Radar Bogor bersama Berto Riyadi, Alfian Mujani, Afandi dan Ubay Subarna dibandingkan membangun Sumatera Expres dengan Suparno Wonokromo. Alasannya sederhana. ‘’Rumah ku kan di Serpong Pai, jadi lebih dekat ke Bogor,’’ katanya menjawab pertanyaan saya.
Begitu pula dengan gaya hidup Pak Kanzul. Mobilnya hanya sekelas Timor, rumahnya di Bogor pun hanya dua kamar. Padahal jabatan Pak Kanzul adalah pimred sebuah harian besar. Walau pun ada sedikit uang, Ia lebih memilih untuk ditabung buat tiga anaknya yang masih kecil-kecil.
Yah, itulah Pak Kanzul. Orang yang sangat sederhana dan tidak pernah menyombongkan diri.
Pai atau Pa’i
Sebegai wartawan magang, saat yang ditunggu-tunggu termasuk saya adalah memilih kata inisial yang selalu dituliskan diakhir sebuah berita. Saat pertama magang di Radar Bogor, Pak Kanzul sudah memanggil saya dengan sebutan Pa’i. Entah mengapa Ia memanggil saya seperti itu. Tapi, ternyata nama itu begitu berkesan buat saya. Bahkan teman-teman di Radar Bogor yang lain pun memanggil saya Pa’i. Jadilah nama Pai itu saya gunakan hingga saat ini. Yah, buat saya nama itu sebuah penghargaan dari seorang guru yang harus digunakan sampai kapan pun.
Terakhir kali saya bertemu, saat beliau usai dirawat di RS Karya Bhakti beberapa bulan lalu. Walau harus menahan rasa sakit, beliau tetap tersenyum menyapa saya. Saat itu, terlihat sekali perubahan drastis dari fisiknya. Pak Kanzul lebih kurus dan tampak sekali keletihan di wajahnya.
Sebenarnya beberapa kali dalam kesempatan ngobrol di rumahnya, Pak Kanzul kerap mengeluhkan keletihan yang amat sangat. Bayangkan saja, hampir setengah dari usianya dihabiskan menulis berita, mengedit berita hingga mengelola koran tanpa kenal waktu. ‘’Capek Pai aku. Pingin istirahat, tapi nggak bisa,’’ ujarnya.
Kendati Pak Kanzul seorang pemimpin redaksi, tapi sama sekali Ia tidak pernah menjadikan jabatan itu sebagai alat untuk menekan wartawannya. Pak Kanzul tidak pernah marah jika wartawannya berbuat salah. Ia lebih memilih menasihati sambil duduk-duduk ngobrol. Cara seperti itulah yang membuat saya berkesan, ketika harus memilih untuk keluar dari Radar Bogor dan bergabung ke Radar Tarakan. Walau Pak Kanzul kecewa, tapi Ia tetap menjadi seorang teman bahkan sahabat bagi saya.
Selamat jalan Guru. Semoga Kerja keras dan pahalamu mendapat balasan dari Allah SWT. Amin. (Tarakan, 17 Juli 2006/telah dipublikasikan di Radar Bogor)